New Otoritarianisme

Foto : akademikparamadina.com

Oleh : Budi Nurhamidin

Opini, MataBMR.id - Beberapa hari ini, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan aturan terkait rencana RKUHP (Revisi Kitab Undang-undang Pidana) yang dilakukan oleh pemerintah dan DPR. Tujuan adanya revisi tersebut berdalilkan untuk menghilangkan watak kolonial yang ada dalam aturan yang ditinggalkan sejak jaman Hindia Belanda. Rencana revisi tersebut tentunya menuai kritik dari berbagai kalangan, salah satunya yang disampaikan oleh pakar hukum Rasamala Aritonang, bahwasanya ia mengkhawatirkan bahwa rencana revisi tersebut akan melahirkan otoritarianisme. 

Pasal-pasal yang terkandung dalam RKUHP memiliki ancaman kepada siapaun (masyarakat) ketika menghina presiden atau pemerintah, dan bagi masayarakat yang melakukan demontrasi akan dikenakan sangsi pidana. Sangsi yang diberikan kepada masyarakat tersebutlah yang menjadi suatu problem dalam diskursus demokrasi, khususnya bagi bangsa Indonesia yang menganut sistem demokrasi.

Demokrasi sendiri menempatkan negara sebagai pelayan publik. Artinya negara memeberikan ruang yang luas kepada masyarakat untuk melakukan kritik terhadap pemerintah. John Locke sendiri menjelaskan bahwasanya pemerintah atau penguasa bukan sesuatu yang terbentuk dengan sendirinya, melainkan berangkat dari kemauan dan izin mereka sendiri untuk membuat kesepakatan bersama dan membentuk suatu masyarakat politik. Maka setiap orang menyerahkan kekuasaan yang dimiliki (bukan hak) kepada masyarakat yang telah dibentuk (pemerintah), sehingga masyarakat inilah yang mengambil keputusan kepada setiap pelanggaran yang ada (hukuman sesuai dengan kadar pelanggaran yang dilakukan). Lanjut Locke, dalam masyarakat politik bahwasanya masyarakat masih memiliki hak dan kekuasaan untuk memberikan penilaian dan tuntutan terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan. Jadi, kekuasaan tertinggi dalam negara masih terletak pada masyarakat secara keseluruhan.

Bangsa Indonesia pasca reformasi tahun 1998 mengantarkan pada suatu perubahan yang radikal berkaitan dengan sistem pemerintahan, yakni sistem pemerintahan orde baru menuju sistem pemerintahan demokrasi. Gerakan reformasi dilatarbelakangi terjadinya krisis multidimensi yang dialami bangsa Indonesia, serta pada saat itu merupakan sebuah kulminasi dari gerakan massa yang menuntut adanya perubahan politik, karena pemerintahan sebelumnya dinilai tidak efisien, tidak bersih dan tidak demokratis.

Setelah kurang lebih 24 tahun bangsa Indonesia menerapkan dan menjalankan sistem yang demokratis, pemerintah tiba-tiba melakukan revisi terhadap RKUHP. Kebijakan tersebut tentunya menjadi suatu yang rancu dalam diskursus demokrasi. Pasalnya ketika RKUHP ini disahkan tentunya akan menutup ruang kritik yang akan dilakukan masyarakat kepada pemerintah. Padahal kritik yang dilakukan terhadap pemerintah bukan berkaitan dengan personal dari pejabat negara, melainkan pada regulasi kebijakan yang diterapkan. Apabila kebijakan yang diterapkan dan dinilai tidak berpihak bagi kehidupan bermasyarakat, masyarakat berhak melakukan kritik sebagai upaya kontrol kebijakan.

Tujuan tulisan ini tentunya tidak ditujukan untuk membahas RKUHP dalam diskursus hukum, melainkan akan diarahkan pada diskursus demokrasi yang merupakan sistem pemerintahan yang dianut bangsa Indonesia. Karena kebijakan yang akan dihasilkan dari hasil RKUHP akan menghidupkan kembali sistem pemerintahan yang otoriter.


RKUHP dan Paradoks Demokrasi

Ide tentang demokrasi sebagai sebuah sistem pemerintahan secara historis berangkat dari kebudayaan Yunani. Sistem tersebut menghendaki keterlibatan rakyat secara langsung dalam pengambilan keputusan untuk keberlangsungan sebuah negara.

Sebagai makhluk politik (zoon politicon), menurut Aristoteles keterlibatan individu sebagai makhluk yang bebas dalam ruang demokrasi sangat diperlukan agar setiap warga negara bisa saling berbagi kekuasaan didalam negaranya. 
Demokrasi sebagai diskursus yang menghendaki adanya timbal balik antar pemerintah dan masyarkat sebagai upaya saling mengontrol satu sama lain, saat ini telah direnggut dengan kehadiran RKUHP. Demokrasi sendiri tidak bisa kita sempitkan hanya pada sumbangsi masyarakat ketika datang momen pemilu, yaitu dengan datang ke TPS dan melakukan pemilihan. Lebih dari pada itu, demokrasi adalah ruang publik untuk melakukan kritik otokritik bagi kemajuan bangsa. Ketika diskursus ini dihentikan, tentunya akan mengantarkan pada matinya sebuah sistem demokrasi yang berasaskan pada hilangnya kebebasan kehendak masyarakat untuk melaukan kritik.

Selain itu, demokrasi sendiri dapat dimaknai sebagai suatu proses untuk memperpendek sirkulasi elit yang berkuasa. Pengutamaan demokrasi seperti yang disampaikan oleh Aristoteles terletak pada kehendak orang banyak dengan tujuan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya paksaan. Dengan demikian RKUHP adalah suatu aturan yang bertentangan dengan demokrasi Indonesia, karena RKUHP adalah cikal bakal munculnya otoritarianisme yang tumbuh didalam tubuh demokrasi. Padahal sejarah politik klasik memberikan penjelasan bahwasanya sitem pemerintahan otoriter dan sistem pemerintahan demokratis merupakan dua entitas sistem yang selalu dipertentangkan.

Sebagai suatu negara yang menganut sistem pemerintahan tertentu, baik pemerintah maupun masyarakat harus sama-sama mematuhinya. Bagi Aristoteles, bahwasanya kehendak yang diutamakan dalam demokrasi adalah pembahasan bukan paksaan. Hasil dari pembahsan inilah merupakan hukum, dan hukum harus diletakkan di atas segalanya. Hukum yang dijalankan juga berlaku bagi para penguasa, karena penguasa yang baik adalah mereka yang tahu tentang aturan dan bisa bersikap patuh dan tunduk pada konstitusi yang berlaku. Baginya, seorang warga negara yang berhak dan menempati posisi jabatan dalam negara, adalah mereka yang dapat menjalankan kekuasaan dengan adil dan bisa diperintah dengan patuh.

RKUHP Langkah Halus Otoritarianisme

Indonesia sebagai sebuah bangsa pernah menjalankan sistem pemerintahan yang dinilai otoriter. Masa pemerintahan orde baru yang dipimpin oleh presiden Soeharto, menerapkan kebijakan tentang stabilitas politik dan keamanan sebagai dasar pembangunan. Untuk menciptakan hal tersebut, pemerintah melakukan pelemahan terhadap kekuatan-kekuatan yang secara historis dinilai berpotensi mengganggu stabilitas dan merongrong kewibawaaan pemerintah. Bahkan pada saat itu dalam upaya meredam gerakan mahasiswa, pemerintah mengeluarkan SK/028/1974 tentang petunjuk-petunjuk kebijakansanaan dalam rangka membina kehidupan kampus serta melarang demonstrasi. Kegiatan mahasiswa hanya difokuskan pada bidang penalaran dan diskusi semata.

Larangan terhadap penghinaan pejabat negara serta ancaman pidana bagi para demonstran yang tertuang dalam RKUHP merupakan kebijakan yang hampir sama persis dilakukan oleh pemerintahan orde baru. Baskara T. Wardana sendiri menyebutkan bahwasanya politik otoriter merupakan bentuk pemerintahan yang bercirikan penekanan kekuasaan yang dilakukan oleh negara atau pribadi tertentu dengan mengabaikan kebebasan individu. Upaya RKUHP tentunya merupakan langkah halus menuju sistem pemerintahan otoriter, karena dinilai ada upaya pelemahan terhadap kebebasan individu dalam sistem pemerintahn demokrasi Indonesia.

Nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi dalam diskursus demokrasi hari ini telah diabaikan oleh pemerintah. Tindakan amoral yang dilakukan oleh pemerintah terhadap konstitusi bangsa Indonesai, tentunya berangkat dari apa yang pernah dianjurkan oleh Niccolo Machiavelli seorang pemikir yang sering mengabaikan nilai-nilai moral, bahkan penguasa yang diagungkan adalah mereka yang mampu memperoleh dan mempertahankan kekuasaan dan kemasyhurannya, walaupun dengan menghalalkan semua cara. Lanjutnya, untuk kesuksesan seorang penguasa upaya penipuanpun dibenarkan kalau memang itu diperlukan.

Tertutupnya ruang diskursus publik secara otomatis mengantarkan sistem pemerintahan demokrasi kita menuju sistem pemerintahan otoriter. Ketika RKUHP ini telah disahkan, dengan sendirinya akan mengancam kebebasan individu maupun kelompok masyarakat dalam menyampaikan pendapat di depan publik. Meminjam istilah Gramsci, pemerintah bisa saja melakukan tindakan koersi, dimana kelas yang berkuasa tidak hanya membenarkan dan mempertahankan dominasi, akan tetapi mengaturnya untuk memenangkan pemaksaan aktif terhadap kekuatan yang berada diluarnya. Aturan inilah yang menjadi suatu yang rancu, pasalnya sistem demokrasi menghendaki adanya keseimbangan antara pemerintah dan masyarakat.