Mudik, Covid-19 dan Hilangnya Kepercayaan Masyarakat
Opini, MataBMR.id - Masyarakat Muslim sebentar lagi merayakan lebaran Idul Fitri. Adapun tradisi yang sering dilakukan menjelang lebaran khususnya bagi perantau yakni pulang kekampung halaman (mudik). Akan tetapi mudik tahun 2020 dan tahun ini berbeda dengan mudik pada tahun-tahun sebelumnya dikarenakan adanya wabah covid-19.
Covid-19 yang melanda Indonesia sejak awal tahun 2020 menjadi penghambat niat masyarakat untuk melakukan mudik, dikarenakan pemerintah menutup akses transportasi yang bertujuan untuk membatasi mobilisasai masyarakat guna menekan dan mengendalikan angka penyebaran.
Upaya pecegahan dan penanganan tentunya sudah banyak dilakukan seperi lockdown, membatasi mobilisasi masyarakat, menutup tempat keramaian, dan lain sebagainya. Namun upaya yang dilakukan sampai saat ini masih belum menunjukan hasil yang maksimal dalam upaya pencegahan dan penanganan covid-19, ditambah lagi simpang siur dan tidak konsistennya kebijakan yang dikelaurkan oleh pemerintah.
Sejak awal pandemi tahun 2020, awalnya pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2020 terkait gugus tugas percepatan penanganan covid-19, akan tetapi dengan berjalannya waktu pemerintah pusat terlalu cepat melakukan pelanggaran peraturan tersebut, diganti dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2020 tentang komite penangana covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tersebut tentunya membuat heran karena terlihat fokus utamanya bukan lagi pada masalah kesehatan.
Lebih parah lagi pemerintah menampakkan paradoks kebijakan. Ditengah-tengah wabah pandemi, walaupun masyarakat sudah ada himbauan untuk hidup normal baru (new normal) dengan selalu mematuhi protokol lesehatan, pemerintah tetap melaksanakan pemilihan kepada daerah pada tanggal 9 Desember 2020 secara serentak dengan mengacu pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Pilkada Nomor 2/2020, dengan alasan yang berkaitan dengan hak konstitusional memilih dan dipilih, masalah anggaran, dan stabilitas politik.
Begitu juga dengan peraturan mudik lebaran pada tahun ini, pemerintah melarang dengan mengeluarkan Adendum Surat Edaran satuan tugas penanganan covid-19 Nomor 13 Tahun 2021 tentang peniadaan mudik hari raya Idul Fitri. Ditambah lagi ditengah-tengah larangan mudik bagi masyarakat Indonesia, menurut media Tempo.com (6/05/2021) ada 171 warga negara asing asal Cina berdatangan via bandara Soekarno-Hatta.
Penjelasan tersebut tentunya memberikan gambaran bahwasanya pemerintah tidak konsisten dan tidak serius dalam upaya pencegahan dan penanggulangan pandemi covid-19. Pasalnya yang beredar di media sosial, virus itu sangat mengerikan dan mematikan. Hal tersebut yang mendorong sampai berujung pada ketidakpercayaan masyarakat pada pemerintah dan covid-19, yang menyebabkan mereka tetap memaksakan diri untuk melakukan mudik dengan berbagai cara dan upaya.
Sangking tidak percayanya masyarakat pada pemerintah, berbagai anekdot yang muncul secara siklikal dan viral di media sosial sebagai counter terhadap isu yang berkaitan dengan bahayanya covid-19. Salah satu guyonan yang selalu diulang dari waktu kewaktu yaitu, Disebutkan, sebuah bus yang berisi pemerintah tergelincir dan masuk kejurang. Beberapa saat kemudian datang seorang polisi dan mendapatkan seluruh penumpang sudah dikuburkan. Setelah mendapatkan penjelasan dari beberapa masyarakat, seorang polisi bertanya, “apakah bapak-bapak yakin mereka sudah meninggal sehingga semuanya diubur ?” secara serentak masyarakat mejawab, “sebenarnya tadi ada yang teriak-teriak masih hidup, tetapi bapak polisi tauhu sendiri bahwa omongan mereka tidak dapat dipercaya.” Hal tersebut muncul, Menurut Cornelis Lay merupakan ekspresi kekecewaan masyarakat atas praktek kebijakan pemerintah.
Dengan berbagai macam ketimpangan kebijakan tersebut membuat masyarakat masa bodoh dengan aturan yang dikeluarkan. Hanya saja yang mejadi kekhawatiran ketika masyarakat benar-benar sudah tidak memiliki kepercayaan lagi terhadap pemerintah, tentunya ini akan menyebabkan berbagai gejolak secara vertikal. Pemerintah tentunya harus mengevalusi kembali kinerja yang dilakukan agar regulasi yang dikeluarkan tidak memberikan ketimpangan antara masyarakat dan pemerintah yang menyebabkan rusaknya tatanan stabilitas keenegaraan.
Penulis : Budi Nurhamidin (Mahasiswa Interdisciplinary Islamic Studies)
Konsentrasi Islam, Pembangunan dan Kebijakan Publik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
0 Komentar