RDP Bersama Kementrian PUPR,
Herson Mayulu Sampaikan Pelebaran Jalan Nasional di BMR
Nasional, MataBMR.id - Komisi V DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Dirjen Bina Marga dan Dirjen Bina Konstruksi Kementerian PUPR, Selasa (30/3/2021).
RDP tersebut berkaitan dengan dua agenda penting diantaranya membahas dan menetapkan Refocussing Program dan Kegiatan Unit Kerja Eselon I Tahun Anggaran 2021, serta membahas persiapan infrastruktur jalan untuk arus mudik dan arus balik lebaran tahun 2021.
Dalam kesempatannya, Anggota Komisi V DPR RI Hi Herson Mayulu SIP menyoroti Dirjen Bina Konstruksi, berkaitan dengan Perpres Nomor 16 Tahun 2018 yang diperbaharui dengan Perpres Nomor 12 Tahun 2021 tentang pengadaan Barang dan Jasa.
Politisi PDI-P itu mengatakan, di Jakarta aman-aman saja, namun dua Perpres itu menimbulkan multi efek di daerah yang pertama timbul persaingan diantara penyedia jasa.
Ia mencontohkan, di Provinsi Sulut, penyedia jasa dari luar daerah seperti Aceh maupun daerah lain bisa masuk, ini mengakibatkankan sulitnya pengusaha lokal berkompetisi, apalagi kalau pengusaha jasanya dari BUMN.
Akibat lain, munculnya praktek praktek yang tidak wajar seperti jual beli proyek.
"Jadi pada saat lelang, perusahaan dari luar punya peralatan lengkap, sehingga menang mereka, tapi ketika mau kerja dioper ke kontraktor lokal yang tidak punya peralatan, ini sudah terjadi selama ini," ungkapnya.
Persoalan kedua, terkait kwalitas pekerjaan, persyaratan tender memang tender salah satunya adalah penawar terendah tapi juatru ini yang jadi masalah.
Dimana, Herson menduga orang-orang balai mulai dari Satker, hingga Pokjanya turut bermain. Padahal, penawar terendah itu belum tentu menghasilkan pekerjaan yang berkwalitas.
"Saya ambil contoh pembuatan jalan di Dirjen Bina Marga, ada kontraktor pengusaha yang mempunyai AMP ditempat situ, tapi yang menang justru pengusaha yang AMPnya kurang lebih 200 kilometer dari situ. Pasti kwalitas jalan akan beda jauh. ini karna Satker dan Pokjanya bermain disitu, dan ini bukan lagi rahasia umum, karena hampir semua daerah terjadi," sentilnya.
Padahal lanjut Herson, didalam Perpres disentil soal pemberdayaan pengusaha kecil bahkan koperasi tapi selama ini ia justru tidak melihat itu.
"Yang lebih bahaya, orang orang balai itu, diduga mereka sudah punya kontraktor langganan. secara nyata memang tidak terlihat, tapi prakteknya ada, saya kurang tahu bentuk pengawasan dari Dirjen Bina kontruksi seperti apa," ujarnya.
Herson juga menyinggung kejanggalan pada Perpres 16 dimana dalam perpres itu ada yang namanya PPHP, namun pada Perpres Nomor 12 itu hilang, demikian juga soal tugas dari PPK dan PA, dalam Perpres 16 penandatanganan kontrak dilakukan oleh PPK, namun pada Perpres Nomor 12 dialihkan ke PA, padahal tugas PA sudah sangat berat.
"Karena itu, mungkin ada masukan untuk kementrian PUPR untuk bagaimana lebih menyempurnakan perpres ini, terutama soal PPHP meski di daerah sudah dibentuk Tim Tekhnis. Kan tidak masuk akal pekerjaan ditawar hingga 30-40 persen dari pagu yang ada, belum membayar pajak, lantas untungnya darimana," sebutnya.
Untuk itu ia memohon, agar ada perhatian dari Dirjen bina Konstruksi.
"Kepala balainya bagus, tapi dibawahnya, para pemain lama, kemarin saya sudah usulkan agar mereka dipindahkan ke tempat lain tapi tidaknada tindaklanjut sampai hari ini, kan aneh, ada apa ini, bahkan mereka yang terindikasi justru dikasih kepercayaan, jadi PPK, jadi Satker, padahal ini pemain pemain," singgungnya.
Meski demikian, Herson mengucapkan terima kasih kepada Dirjen Bina marga dan Bina Konstruksi yang telah menindaklanjuti hasil pertemuan lalu, begitu juga dengan pelaksanaan tender awal.
"Jadi ini semua bukan keluhan saya, karena saya bukan kontraktor, tapi para kontraktor lokal, bagaimana mereka bisa hidup kalau sistemnya seperti ini, kemudian kedepan saya harap, tender dilakukan lebih transparan bukan diatur dibawah meja, supaya kalau kalah ya kalah, tapi kalau hanya proses, nilai penawarannya kemudian dia dikalahkan, itu tidak fair namanya," ujar dia.
Terakhir, Herson menitipkan pelebaran dua jalur Nasional yakni jalan penghubung antara Kotamobagu Boltim, tepatnya di Moyongkota dan Modayag sepanjang 10 Kilometer dan juga jalur Molibagu Bolsel tembus ke Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo.
"Ini masih jalan lama, yang lebarnya hanya 5-6 meter padahal itu adalah jalan nasional, mungkin bisa menjadi perhatian pada tahun tahun berikutnya," pungkas Herson. (ebby makalalag).
0 Komentar